Jumat, 18 Desember 2015

Mengenang Happy


Hari ini, tepat tiga tahun silam, Happy, kucing keluarga kami, mati. Dia sudah menemani kami selama hampir tujuh belas tahun. Sebelumnya, dia milik teman kantor Ayah yang juga menyukai kucing. Tapi karena kemudian ibu mertua teman Ayah ini tinggal bersama keluarga mereka dan dia tidak suka kucing, maka Happy diberikan kepada adik saya Ririn, yang saat itu baru masuk SMP dan kebetulan mencari kucing lain karena Clara, kucing yang dibawanya pindah dari Makassar, hilang.

Banyak sekali hal seputar Happy yang saya ingat: berkutu waktu baru datang, suka sekali pindang tongkol sehingga bisa dibilang mengidap halitosis (hahaha...), selalu mengeong keras berusaha mengalahkan suaranya bila piano dimainkan, lalu pada suatu ketika sering sekali bisulan. Dan yang agak mengejutkan adalah omongan dokter hewan kami, bahwa Happy keturunan kucing Madura. Benar atau tidaknya sih saya tidak tahu pasti.

Lalu ada hal lain juga yang Ririn ingat. Katanya, dia sering melihat Happy menunggu di balik pintu kasa memandang keluar menunggu emaknya---ini istilah Ririn untuk menyebut saya---yang sedang pergi. Dan begitu emaknya muncul, dia akan mengeong keras seolah berkata, "Dari mana saja?" Atau bila berbunyi minta masuk tapi lama sekali baru dibukakan pintu, Happy akan mengeong panjang seolah menggerundel "What took you so long?"


Yang akan saya tulis di sini adalah cerita-cerita bersama Happy yang meninggalkan kesan mendalam dan memberi pelajaran bagi saya. Pada suatu Ramadan, entah tahun berapa, tiba-tiba saja dia tidak mau makan. Selidik punya selidik, ternyata dia sariawan (tandanya gusi yang berwarna agak putih). Saya, yang waktu itu masih belum begitu paham mengurus kucing, memberinya obat yang kata seorang teman biasanya diminum untuk meredakan nyut-nyutan sehingga makanan lancar melewati mulut. Jadi, sore-sore, saya pun mencekokkannya pada Happy dengan harapan nyeri sariawannya hilang.

Malamnya, ketika kami pulang salat tarawih, Happy ikut menyusul masuk rumah sambil mengeong keras dengan langkah tersaruk-saruk; kaki depannya menekuk setiap kali melangkah. Saya panik. Langsung saja saya mengontak teman saya, Ine, dan kami segera membawanya ke dokter hewan. Ternyata, saya salah karena sudah memberi Happy obat pereda nyeri. Kucing tidak boleh diberi obat sejenis itu, lambungnya bisa luka. Yah, untung saja Happy cepat ditangani dokter sehingga iritasinya tidak parah dan pulih dalam beberapa hari.


Cerita lain adalah saat taringnya goyang. Lagi-lagi Happy tidak mau makan. Saya sudah akan membawanya ke dokter hewan agar gigi itu dicabut saja. Disamping agar dia tidak tersiksa, saya juga tenang karena dia pasti mau makan. Tapi rupanya tidak perlu, karena kemudian gigi itu jatuh sendiri. Omong-omong, semua taring Happy lepas, begitu juga gigi-gigi lain yang copot tanpa saya ketahui juntrungannya sehingga akhirnya benar-benar tinggal dua---seperti lagu Burung Kakaktua---yaitu gigi seri di gusi bawah. Kata dokter hewan kami, mungkin akibat waktu kecil Happy tidak menyusu pada induknya dan tidak mendapat asupan pengganti. Kasihan ya..


Lain lagi cerita waktu Happy mengalami kencing batu, kira-kira setahun sebelum kematiannya, sehingga dia sulit buang air kecil dan selalu tampak benar-benar kesakitan. Waktu itu saya benar-benar sangat sedih dan bingung saking tidak tega melihat penderitaannya. Bayangkan saja, Happy, yang selalu tidur di "gubuk derita" di kamar saya, bolak-balik lari ke sudut untuk menyelesaikan hajatnya. Tapi setiap kali gagal, dan yang keluar hanya darah; kadang bercampur satu atau dua tetes air, kadang berupa darah kental. Bagaimana saya tidak kalut, coba?

Satu setengah bulan saya merawatnya, memberinya obat peluruh batu sebagaimana yang diperintahkan dokter, dan sesekali dokter itu saya minta datang untuk membantu kencing dengan memencet perut bawahnya jika saya mengalami kesulitan dan terutama karena tidak tega. Kadang-kadang kami melihat air kencing yang keruh (tanda batunya luruh), dan kali lain memang ada karang kecil yang keluar. Sungguh pemandangan menyesakkan dada melihat Happy saat itu; tubuhnya semakin kurus karena keengganannya untuk makan sehingga harus selalu disuapi dan terus diberi vitamin. Benar-benar masa yang berat bagi kami orang-orang di rumah yang menyayanginya.

Tapi, seperti yang saya bilang, baru setahun kemudian Happy mati. Dan dia sempat sangat menikmati hidup. Sepertinya setelah kencing batu itu dia jadi pemakan segala. Apa pun lauk yang diberikan (dengan syarat waktu masih mentah fresh), pasti dia lahap. Dan dia juga kembali ke kebiasaannya nongkrong di depan kulkas minta pindang tongkol pada jam-jam tertentu. Sampai sekitar sebulan sebelum tanggal ini pada tahun 2012, makannya mulai tidak selahap biasanya sampai akhirnya dia tidak mau makan sama sekali selama dua hari, dan kemudian pergi untuk selamanya.

Happy Tidur
Karena menyadari Happy sudah uzur untuk ukuran seekor kucing (yang konon biasanya hanya berumur 7-9 tahun), saya berusaha tabah menerima kepergiannya, meskipun tak bisa dipungkiri cukup lama juga saya masih sering menangis bila teringat kebersamaan kami. Anehkah tangis saya itu? Barangkali, bagi sebagian kalangan. Mengutip kata-kata Mbak Ine, yang anjingnya juga mati beberapa waktu lalu, orang yang tidak pernah memiliki hewan peliharaan akan sulit memahami rasa kehilangan semacam itu; bahkan mungkin mereka akan menganggap keterlaluan, menangisi binatang mati. Yah, biarlah.

Waktu itu Happy dikubur dalam sendunya cuaca Desember. Nyaris sama persis dengan cuaca hari ini. Mungkin karena itulah saya terdorong untuk menulis, atau jangan-jangan saya merindukannya... Apapun itu, bagi saya, Happy benar-benar tak tergantikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...